Dalam mangkuk ini, kapan pernah kita sempat menghitung butir nasinya? Sebab jika kita sempatkan itu, kita akan turut rasakan betapa tekunnya petani, yang lalu mulai memindahkan bibit-bibit tadi ke petak kosong; sejumput demi sejumput, ditata dalam langkah mundur, karenanya disebut ‘tandur’; rapi layaknya menyiagakan prajurit dalam barisan, dimana ia adalah sang komandan.
Dalam mangkuk ini, kita melewatkan drama besar, tentang harapan dan kecemasan. Harapan yang terus menyertai dalam tiap gerak perubahan, dalam seminya tangkai-tangkai dari bijian, dalam retasnya bulir-bulir dari bebatang, hingga runduknya mereka di hadapan ibu bumi. Tentang kecemasan yang tumbuh bersama gulma, meradang bersama hama, dan kecut karena khianat cuaca.
Dalam mangkuk ini, kita hanya mau tahu apakah rongga mulut sedia menerima rasanya, dan perut disembuhkan laparnya. Dan sering tanpa rasa dosa, kita cecerkan sebagiannya di taplak meja, sebelum dikirim ke keranjang bersama debu dan sisa. Tanpa mau tahu, di desa sana petani memungut lagi tiap butir padi yang terpental dari lesung tempat mereka ditumbuk, dimerdekakan dari cangkang yang menyembunyikan indah putih tubuhnya.