

Begitulah saya memahami kata sakit jasmaniah, dan antonimnya sehat, secara mendasar. Namun sakit sebagai kata rupanya tidak selamat dari perluasan makna. Orang menggunakannya untuk mengkonstruksi suatu pandangan, dan untuk mencapai suatu tujuan. Sakit yang semula lebih ditandai oleh rasa, sekarang dipisahkan dari rasa itu. Sakit bukan lagi tentang jeda waktu seseorang saat merasakan derita badaniah, yang jeda itu bakal berakhir menjadi sehat, tapi tentang kondisi permanen jasmaniah karena adanya organ tubuh yang absen, sekalipun orang yang bersangkutan tidak merasakan penderitaan.
Perluasan makna yang dibuat-buat ini mudah kita jumpai dalam diskusi politik tentang syarat untuk menduduki kursi tertentu, berupa frasa ‘sehat jasmani’ yang antonimnya bukan ‘rasa sakit jasmani’ tapi ‘penyandang cacat’. Saya katakan dibuat-buat karena nuansa pragmatisnya pekat sekali, yaitu untuk menghalangi pihak lain sambil memuluskan jalan sendiri demi satu tujuan, persis sebagaimana natur dunia politik.
Sekarang berkat frasa ‘sehat jasmani’ ini, para penyandang cacat –seperti saya– dimasukkan dalam golongan orang sakit, meskipun saya tidak sedang masuk angin, tidak sedang dihinggapi virus, bakteri, ataupun jamur yang menggerogoti jaringan tubuh. Terima kasih kepada negara yang sudah melahirkan kekacauan ini lewat perseteruan politiknya di lembaga-lembaga terhormat sana.
Ironisnya, di saat istilah penyandang cacat telah berevolusi menjadi istilah difabel, disusul kemudian dengan penyandang disabilitas, negara sudah lebih sukses dengan label ‘sakit’ yang dianugerahkan pada kami. Kesuksesan ini ditandai dengan diadopsinya frasa sehat jasmani oleh instansi dan lembaga-lembaga bisnis dalam proses perekrutan tenaga kerja sebagai syaratnya. Yang itu berarti negara telah memberi inspirasi untuk melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, khususnya pasal 14.
Evolusi kata sakit belum berhenti. Kata sakit sekarang memiliki kedekatan dengan kata sakti. Prakteknya, ketika seseorang mengaku dirinya sakit, maka dia akan kebal dari konsekuensi keadilan; dia bisa tetap leluasa mengunyah-ngunyah kenikmatan yang sebelumnya dia hisap dari kerongkongan orang lain, setelah memangkas aturan main dengan kekuatan alat tukar, tanpa khawatir disentuh oleh hukum. Segala dosanya seperti harus diampuni saja, tak perlu diingat lagi.
Nah, kalau penyandang cacat termasuk golongan orang sakit, bagaimana kalau kami melakukan korupsi atau bribery saja, toh kami sudah memiliki kesaktiannya? Duh, kacaunya negeri ini.