Jika saja ada tangan di badanku, akan kuangkat sejajar dahi sambil menatap lurus sang Merah Putih. Karena aku percaya kibarnya di angkasa biru bukan tanpa perjuangan. Dengan tangan yang dilekatkan di dahi, aku bermaksud memaksa otak yang ada di dalam kepala ini untuk bekerja keras membayangkan bagaimana daging yang koyak diterjang peluru, tulang yang pecah merobohkan badan, dan darah yang menyembur mengantar nyawa pergi, yang terjadi pada orang-orang sejaman dengan kakekku.
Mengangkat tangan sejajar dahi menatap Merah Putih adalah penghargaan dan tanda terima kasih bagi mereka yang sudah menempatkannya di ketinggian sana itu, sembari berjanji pada diri untuk menuntaskan pekerjaan yang masih tercecer.
Mengangkat tangan sejajar dahi menatap Merah Putih tak ada urusannya dengan surga-neraka, bukan pemberhalaan. Ini adalah pilihan hidup yang dijalaninya di sini dan sekarang. Di sini: di bumi nusantara ini. Sekarang: setelah penjajah kolonial pergi digantikan penjajah keserakahan.
Mengangkat tangan sejajar dahi menatap Merah Putih memang tak bisa kulakukan. Bukan karena tak mau, tapi karena tak ada tangan.
Setelah 66 tahun berproklamasi, apa kabar negeri ini?