Kali ini mungkin cemburu alam benar-benar tak menemukan lagi waktu untuk menunda pelampiasan. Alam sudah lama diletakkan di belakang mata manusia saat memandang lewat teropong cinta. Sedang selalu tepat di seberangnya, tertatap dengan binar yang penuh, adalah birahi dan loba.
Bisa jadi alam sedang bertanya, tapi tak tertangkap artikulasinya oleh pekak kuping kita, mengapa cinta manusia hanya untuk golongannya saja.
Atas nama cinta, manusia memperbanyak spesiesnya, yang masing-masing kemudian mendesak pepohonan keluar dari ruang yang sebenarnya sudah menjadi jatah mereka. Atas nama cinta, manusia mengiris-iris tanah, menyatakan kuasa atasnya; menceraikan kali dari air, lalu beranak pinak di bantarannya.
Ini hari, saat orang merayakan cinta, alam menjerit, “Tidakkah kalian merindukan kasih sayangku juga?”
Sekali sembur alam sanggup menunda segarnya hijau dedaunan di kejauhan ratusan mil. Semua tampak pucat dan memedihkan. Ia memberi jeda, mengajak manusia berhenti sejenak untuk merenung. Bahwa ketika ada yang absen darinya, manusia akan merasakan kerinduan. Rindu akan rutin yang dianggap biasa dan sudah semestinya di sana. Sadar bahwa itu juga bisa berakhir karena tanpa perhatian dan cinta. Bukankah ada dan bernilainya sesuatu sering kali baru dirasakan ketika ia pergi?
Tapi agaknya, manusia terus berpacu untuk dirinya saja.
Mohon maav banget, minggu kemaren temen2 fw gak bisa kesana, soale ada kegiatan masing2. hehe 😀
Hehe.. aku rapopo.
😀 Minggu besok sempetin ke sini. Aku mau mengulas cerpennya Anggi dan Hana.
punyaku udah dibaca belum, hehe (berharap) bahasanya biasa aj, apalagi ceritanya.. ^^
Duh, yang judulnya apa, ya?
Ada satu naskah yg gak bisa dibuka dengan open office. Judulnya Cinta yang Pergi.
Naskahmu bisa tolong dikirim lagi ke sabar@sabarsubadri.com?
Tolong tanyakan mbak Fina, sudah sampai mana persiapan terbitnya.